Hubungan Antarkelompok



A.    Hubungan Antarkelompok
Kelompok adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang berinteraksi dan mereka saling bergantung (interdependent) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tujuan bersama, meyebabkan satu sama lain saling mempengaruhi. Menurut Muzafer Sherif kelompok sosial adalah kesatuan sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga di antara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur dan norma-norma tertentu.
Manusia adalah makhluk yang selalu berada dalam kelompok-nya. Perilaku antarkelompok, berkaitan dengan bagaimana anggota kelompok memersepsikan, memikirkan, menghayati, dan bertingkah laku terhadap seseorang dari kelompok lain. Hal ini dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung,  misalnya melalui media cetak atau elektronik. Seringkali kita saksikan, tawuran antarsiswa, antardesa, antaretnis, protes buruh terhadap atasan, bahkan peperangan antarnegara. Sebaliknya, kerja sama, tolong menolong, dukungan langsung maupun tidak laangsung, juga merupakan tingkah laku antarkelompok.
Konflik, perang, perkelahian, kecurigaan, negosiasi, maupun kerja sama, merupakan perilaku antarkelompok karena melibat-kan sejumlah orang yang berasal dari kelompok yang berbeda, dan karena mereka menghayati dirinya sebagai bagian dari kelompok yang berbeda.
Hubungan antarkelompok terwujud karena adanya interaksi suatu kelompok dengan kelompok lain. Adanya keterikatan seseorang terhadap aturan-aturan kelompok yang mereka ikuti tersebut akan menimbulkan suatu pandangan dan sikap terhadap kelompok lain, yang mana aturan itu sendiri ada dipengaruhi oleh penghayatan dalam kelompok dan persepsi terhadap kelompok lain. Adanya kelompok-kelompok yang memiliki aturan tertentu mengenai hubungan anggota sesama kelompok maupun dengan luar kelompok membuat pola hubungan antarkelompok mengarah kepada pola pluralisme dan melenceng dari arah pola integrasi.
B.     Batasan Perilaku Antarkelompok
Menurut Vaughan & Hogg (2002), “Intergroup behavior is any behavior that involves interaction between one or more repre-sentative of two or more separate groups” (perilaku antarkelompok adalah setiap perilaku yang melibatkan interaksi antara satu atau lebih perwakilan dari dua atau lebih kelompok terpisah).
Definisi di atas menekankan adanya interkasi yang face to face, padahal dengan kemajuan teknologi memungkinkan orang melakukan perundingan secara “remote” antarkelompok yang berbeda pendapat. Kemudian Vaughan & Hogg (2005) merevisi definisinya “Intergroup behavior is any perception, cognition or behavior that is influenced by people’s recognition that they and others are members of distinct social groups” (perilaku antarkelompok adalah setiap persepsi, kognisi atau perilaku yang dipengaruhi oleh pengakuan orang bahwa mereka dan orang lain adalah anggota dari kelompok sosial yang berbeda).
Jadi dalam mencermati perilaku antarkelompok, “interaction” tampaknya tidak harus selalu face to face. Perilaku antarkelompok (sebagaimana dipaparkan di atas) hanya mungkin terjadi dalam situasi di mana terdapat sejumlah kelompok yang saling berhubungan.
Sherif (1962) memberi definisi “hubungan antarkelompok” yaitu “relations between two or more groups and their respective members. Whenever individuals belong to one group interact, collectively or individually, with another groups or its members in terms of their group identifications we have an instance of intergroup behavior” (hubungan antara dua atau lebih kelompok dan masing-masing anggotanya. Bilamana ada individu-individu satu kelom-pok berinteraksi, secara kolektif atau individual, dengan kelompok lain atau anggota-anggotanya dalam hal identifikasi kelompok mereka, kita memiliki contoh perilaku antarkelompok).
Artinya, interaksi itu terjadi berdasarkan seberapa kuat individu mengidentifikasikan diri pada kelompoknya. Perlu diingat bahwa interaksi itu bisa positif atau negatif, seperti; prasangka, diskriminasi, konflik, kompetisi, kerja sama, saling mendukung, tolong-menolong antar kelompok, dan sebagainya.
C.    Ruang Lingkup Perilaku Antarkelompok
Teori-teori yang membahas perilaku antarkelompok, antara lain:
1.       Etnosentrisme (ethnocentrism)
The belief that one's own culture is superior to all others and is the standard by which all other cultures should be measured (keyakinan bahwa budayanya sendiri lebih unggul daripada semua budaya yang lain dan merupakan standar ukuran dari semua budaya lainnya).
Adorno et. al. (dalam Vaughan & Hogg, 2005) mengadopsi konsep William Sumner (1906) yang menyatakan bahwa etnosentrisme sebagai cara seseorang memandang lingkungan sekitarnya, di mana ia menjadikan kelompoknya sebagai pusat dari segala hal, sehingga berbagai hal lain diukur dengan mengacu pada kelompoknya sendiri.
Pada orang yang etnosentris (menurut Sumner) atau yang memiliki authoritarian personality (menurut istilah Adorno et. al.) outgroup dipersepsi sebagai kelompok yang mencari kekuasaan dan mengancam, serta survival ingroup bergantung pada penghancuran semua outgroup.
Dalam pandangan Adorno et. al. (1950, dalam Vaughan & Hogg, 2005) prasangka merupakan konsekuensi dari struktur kepribadian tertentu, yaitu struktur kepribadian otoritarian (authoritarian personality). Dalam hal ini, Adorno mengadopsi pandangan Freud, bahwa prasangka merupakan gejala dari keadaan fungsi psikologis yang tidak normal, yang diinternalisasi seorang anak melalui pola asuh orang tuanya. Anak yang dibesarkan dengan cara yang “keras” dan sangat menekankan aturan, kewajiban, otoritas, serta kepatuhan pada orang tuanya, akan tumbuh menjadi anak yang sangat patuh dan takut. Namun pada saat yang sama, anak tersebut juga menyimpan dendam dan membenci orang tuanya.
Menurut Adorno, ciri-ciri individu yang memiliki kepribadian otoritarian:
§  Menghormati dan menghindari figur otoritas
  • Terobsesi dengan ranking dan status
  • Memiliki toleransi rendah terhadap ketidakpastian dan ambiguitas
  • Membutuhkan lingkungan yang strukturnya jelas
§  Mengekspresikan kebencian dan diskriminasi terhadap orang lain yang lebih lemah dari dirinya.
Dalam bukunya The Authoritarian Personality, Adorno (1950) menulis bahwa orang-orang etnosentris cenderung kurang terpelajar, kurang bergaul, dan pemeluk agama yang fanatik. Kesetiaan mereka yang kuat dan tanpa kritik pada kelompok etnis atau bangsa sendiri disertai prasangka terhadap kelompok etnis dan bangsa lain.
Kebalikan dari etnosentrisme adalah Xenosentrisme. Xenosentrisme berarti suatu pandangan atau faham yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. `Xenocentrism` (adj: xenocentric) is the preference for the products, styles, or ideas of someone else's culture rather than of one's own. (Xenosentrisme adalah lebih menyukai produk, gaya, atau ide-ide budaya orang lain daripada miliknya sendiri). Ada yang menyatakan, “The belief that the products, styles, or ideas of one's society are inferior to those that originate elsewhere” (kepercayaan bahwa produk, gaya, atau ide-ide seseorang masyarakat lebih rendah dibandingkan yang berasal dari tempat lain).
Ini adalah kebalikan yang tepat dari kata etnosentrisme [Shils, 1972; Wilson et al, 1976]. Diyakini bahwa produk, gaya, atau gagasan kita sendiri pasti lebih inferior daripada yang berasal dari luar. Ini adalah suatu pendirian bahwa sesuatu yang eksotis memiliki daya tarik khusus yang tidak dapat dicapai oleh sesuatu yang lazim. Ada banyak kesempatan, ketika orang-orang merasa bahagia membayar lebih mahal untuk barang-barang impor dengan asumsi bahwa segala sesuatu yang datang dari luar adalah lebih baik.

2.       Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory)
Teori ini menjelaskan mengapa kelompok saling membandingkan diri atau berkompetisi satu sama lain, dengan menyoroti “perilaku antarkelompok sebagai fenomena yang hanya dapat dijelaskan pada level kelompok.”
Menurut penggagas teori ini (Sherif, 1966) pentingnya peran hubungan fungsional antara dua kelompok atau lebih, agar bias, prasangka, ataupun konflik (karena kompetisi itu) dapat dihindari dalam memperebutkan sumber daya yang terbatas. Sumber daya dimaksud dapat berupa benda, peluang, wilayah, orang, informasi, atau apa pun juga.
Ada 3 asumsi dasar teori ini, yaitu:
a.       Manusia pada dasarnya egois dan selalu berusaha memaksimalkan keuntungan pribadinya.
b.      Konflik merupakan hasil dari adanya kepentingan yang tidak sesuai satu sama lain (incompatible).
c.       Hubungan antarkelompok ditentukan oleh kecocokan atau kesamaan minat kelompok.  
Menurut teori konflik-realistik (Realistic Conflict Theory), prasangka timbul karena kompetisi yang terjadi antara berbagai kelompok sosial yang berbeda untuk meraih kesempatan atau sumber daya yang terbatas (Baron & Byrne, 1991). Prasangka bisa muncul dan berkembang sebagai efek samping perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Sedangkan apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi. Terjadinya prasangka di daerah-daerah pertambangan rakyat, seperti pertambangan emas di Kalimantan, di Rejang Lebong, dan di beberapa tempat lain umumnya didorong oleh adanya konflik kepentingan untuk berebut sumberdaya tambang yang ada. Demikian juga prasangka antara warga asli dengan warga pendatang di daerah-daerah yang dijadikan pemukiman transmigrasi umumnya karena adanya perebutan sumberdaya ekonomi yang terbatas.
Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang berkompetisi. Konflik-konflik yang terjadi yang sering berupa kerusuhan dan kekerasan antar kelompok seringkali dipicu oleh prasangka. Sebaliknya, konflik antar kelompok yang membesar akan menyebarkan prasangka dan diskriminasi (Simpson & Yinger, 1965). Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain.
Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok, prasangka antara kelompok bertikai menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi, prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Sebagai contoh, kekerasan antara etnis Dayak dan etnis Madura di Kalimantan, seperti tragedi Sampit dan tragedi Sambas, telah menyebarkan prasangka diantara etnis Dayak terhadap etnis Madura dan sebaliknya diantara etnis Madura terhadap etnis Dayak. Padahal mungkin saja sebelum kerusuhan banyak diantara mereka memiliki hubungan yang sangat baik.

3.      Teori Identitas Sosial (social identity theory)
Dikembangkan oleh Tajfel & Turner (Turner et. al., 1987). Menurut teori ini, perilaku kelompok terjadi karena adanya dua proses penting, yaitu proses kognitif dan proses motivasional.
a.       Proses kognitif membuat individu melakukan “kategorisasi” terhadap berbagai stimulus yang dihadapi (termasuk pada kelompok yang ditemui), sehingga individu cenderung untuk memandang orang lain sebagai anggota ingroup atau anggota outgroup (Hogg & Abrams, 1990).
b.      Proses motivasional, di mana perilaku yang ditampilkan merupakan usaha individu agar memperoleh harga diri dan identitas sosial yang positif.
Perilaku kelompok menekankan tiga struktur dasar:
a.       Kategorisasi → proses di mana individu mempersepsi dirinya identik dan bertingkah laku sesuai dengan anggota lain dalam kelompok yang sama, dan menekankan perbedaan dengan anggota dari kelompok lain.
b.      Identitas → dapat didefinisikan sebagai citra diri, konsep diri, atau pemaknaan seseorang terhadap diri sendiri (Augoustinos & Walker, 1995; Hogg & Abrams, 1990). Identitas merupakan hal yang penting, karena setiap individu (anggota kelompok) memiliki dorongan kuat untuk menganggap bahwa dirinya baik dan memiliki identitas sosial serta harga diri yang positif. 
c.       Perbandingan sosial → Penilaian seseorang tentang diri sendiri (kelompoknya) tidak mungkin dilakukan tanpa melakukan perbandingan dengan orang (kelompok) lain. Umumnya, dalam melakukan penilaian, individu menggunakan kelompoknya sebagai acuan utama.
d.      Individu yang memiliki harga diri positif merupakan individu yang menilai dirinya lebih baik dibandingkan orang lain. Indivi-du juga memperoleh identitas sosial melalui keanggotaannya pada kelompok tersebut (Hogg & Abrams, 2005).
Awalnya Tajfel & Turner bereksperimen, sejumlah siswa dibagi kedalam kelompok yang berbeda berdasarkan kesukaannya pada lukisan. Lalu disuruh bagi uang untuk kelompok dirinya dan kelompok lain. Hasilnya, siswa tetap memberi lebih banyak untuk kelompoknya. Studi ini terkenal dengan istilah minimal group paradigm.
Identitas sosial yang melekat pada seseorang merupakan identitas posistif yang ingin dipertahankan olehnya. Oleh karena itu, individu yang memiliki identitas sosial positif, maka baik wacana maupun tindakannya akan sejalan dengan norma kelompoknya. Dan, jika memang individu tersebut diidentifikasikan dalam suatu kelompok, maka wacana dan tindakannya harus sesuai dengan wacana dan tindakan kelompoknya.
Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat.
Sebagai upaya meningkatkan harga diri, seseorang akan selalu berusaha untuk memperoleh identitas sosial yang positif. Upaya meningkatkan identitas sosial yang positif itu diantaranya dengan membesar-besarkan kualitas kelompok sendiri sementara kelompok lain dianggap kelompok yang inferior. Secara alamiah memang selalu terjadi ingroup bias yakni kecenderungan untuk menganggap kelompok lain lebih memiliki sifat-sifat negatif atau kurang baik dibandingkan kelompok sendiri.
Tidak setiap orang memiliki derajat identifikasi yang sama terhadap kelompok. Ada yang kuat identifikasinya dan ada pula yang kurang kuat. Orang dengan identifikasi sosial yang kuat terhadap kelompok cenderung untuk lebih berprasangka daripada orang yang identifikasinya terhadap kelompok rendah. Secara umum derajat identifikasi seseorang terhadap kelompok dibedakan menjadi dua yakni high identifiers dan low identifiers. High identifiers mengidentifikasikan diri sangat kuat, bangga, dan rela berkorban demi kelompok. Hal ini misalnya ditunjukkan dengan melindungi dan membela kelompok kala mendapatkan imej yang buruk. Dalam situasi yang mengancam kelompok, orang dengan high identifiers akan menyusun strategi kolektif untuk menghadapi ancaman tersebut. Sebaliknya Low identifiers kurang kuat mengidentifikasikan ke dalam kelompok. Orang dengan identifikasi rendah terhadap kelompok ini akan membiarkan kelompok terpecah-pecah dan melepaskan diri mereka dari kelompok ketika berada dibawah ancaman. Mereka juga merasa bahwa anggota-anggota kelompok kurang homogen.

4.      Teori Deprivasi Relatif (relative deprivation theory)
Apabila teori “identitas sosial” tadi menekankan pentingnya peran motivasional individu, maka teori deprivasi relatif ini menekankan pengalaman individu dan kelompok dalam kondisi “kekurangan” (deprivation) dan “kurang beruntung” (disadvantage).
Studi awal oleh Stouffler et. al. (1949) tentang tentanra USA. Mereka menemukan ketika air force banyak mendapat promosi, tentara lain banyak mengajukan komplain dibandingkan polisi yang umumnya jarang mendapatkan promosi. Namun polisi tidak merasa kekurangan (deprive) dan merasa tidak perlu mengajukan komplain kepada atasannya.
Konsep Stouffler lalu dikembangkan oleh Davis (1959) dan didefinisikan sebagai persepsi terhadap adanya perbedaan (discrepancy) antara kenyataan (what is) dengan harapan atau kei nginan (what ought  to be). 
                                                                                                                                                                                                                                                                                                            Menurut Gurr (1970) keadaan deprivasi relatif ini bersumber dari pembandingan antara pengalaman dengan harapan yang dimiliki seseorang dan merupakan prakondisi yang bersifat relatif. Kondisi deprivasi relatif merupakan prakondisi yang sangat menentukan bagi terjadinya agresi antarkelompok, seperti perilaku agresi kolektif atau riot.
Kondisi di mana orang merasa bahwa kenyataan yang dihadapi berbeda dengan yang diharapkan (terdapat deprivasi relatif) umumnya orang akan merasa frustrasi. Agresivitas individu menjadi meningkat, menyebar, dan melalui proses fasilitasi sosial dapat mengalami transformasi menjadi kekerasan kolektif. Ingat, riot Mei 1998 di Jakarta, saat itu masyarakat sangat frustrasi terhadap kondisi sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia.
Menurut Runciman (1996, dalam Hogg, 1998) ada dua macam deprivasi relatif, yakni:
a.    Deprivasi relatif egoistik, yaitu perasaan deprivasi yang dialami individu dalam hubungannya dengan individu lain, dalam ke-lompok yang sama. Misalnya, guru yang membandingkan diri dengan guru yang lain, yang menurutnya lebih berhasil.
b.    Deprivasi relatif fraternal, yaitu deprivasi relatif yang dirasakan saat seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain yang berbeda kelompoknya. Misalnya, guru yang memban-dingkan diri dengan pengusaha, di mana guru tersebut merasa kekurangan karena si pengusaha memperoleh penghasilan atau status yang dianggapnya lebih daripada dirinya. 

D.    Strategi Meningkatkan Hubungan Antarkelompok
Kelompok yang berkonflik dapat memperbaiki hubungan dengan kelompok lain, dengan membina komunikasi, melalui 3 cara:
1.      Negosiasi (Bargaining)
Negosiasi antarkelompok biasanya dilakukan antara pihak yang terlibat langsung dalam konflik yang terjadi. Misalnya, antara kelompok buruh dengan pimpinan perusahaan, dll. Negosiasi (bargaining) adalah proses resolusi di mana perwa-kilan antara kedua kelompok berusaha mencapai kesepakatan melalui negosiasi langsung.
Pengalaman menunjukkan, apabila kedua kelompok bernegosiasi langsung atas nama kelompoknya, biasanya akan sulit mencapai kompromi daripada apabila mereka bernegosiasi semata-mata untuk dirinya sendiri. Studi juga menemukan bahwa proses negosiasi dapat menjadi lebih sulit apabila negosiator yang terlibat menyadari bahwa mereka diawasi oleh anggota kelompoknya.
2.      Mediasi (Mediation)
Untuk mengatasi “deadlock” biasanya diminta bantuan pihak ketiga untuk menjadi mediator antara kelompok yang bertikai. Agar efektif, mediator seharusnya merupakan pihak yang memiliki “power”, dianggap tidak berpihak, dan kelompok yang berkonflik sudah berada pada tahap yang “agak dekat” satu sama lain. Apabila mediator dinilai tidak objektif, berpihak, dan “lemah” biasanya ia akan menjadi negosiator yang tidak efektif. Namun, meskipun dianggap lemah, adanya mediator tersebut tetap dapat menumbuhkan beberapa efek positif, seperti:
a.    Mengurangi tekanan emosi bahwa perundingan yang dilaku-kan mengalami “deadlock”.
b.    Dapat mengurangi kesalahan persepsi, menambah saling pe-ngertian antarkelompok, dan menumbuhkan “trust”.
c.    Membantu kedua kelompok untuk mengalah tanpa kehilangan muka.
d.   Mengurangi konflik intrakelompok & membantu kelompok me-nemukan posisi mereka dalam konflik yang terjadi.
3.      Arbitrase (Arbitrate)
Arbitrase merupakan proses untuk mengatasi konflik di mana sebuah kelompok yang dianggap netral diminta untuk menengahi dan mengembangkan ikatan antara kelompok yang bertikai. Cara ini dianggap merupakan “upaya terakhir” yang bisa dilakukan untuk mengatasi konflik antarkelompok, setelah negosiasi dan mediasi tidak berhasil mencapai resolusi konflik.
Jadi, arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa (konflik) dimana para pihak menyerahkan kewenang-an kepada kepada pihak yang netral yang disebut arbiter, untuk memberikan putusan.
Keunggulannya antara lain; rahasia konflik terjamin, tidak terhambat oleh prosedur & adminitrasi yang berbelit-belit, pihak yang berkonflik dapat memilih arbiter yang terpercaya, putusan arbitrase (meskipun sederhana) tetap merupakan putusan yang mengikat. Namun juga memiliki kelemahan, antara lain belum dikenal secara luas, tidak mempunyai daya paksa, kurang dipatuhi (hanya bertumpu pada kejujuran dan kewajaran).

Komentar

Postingan Populer